belajar dari yang terdahulu

Senin, 21 November 2011

SASTRA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN



            Rendahnya minat membaca sepertinya selalu menjadi topik perbincangan dari waktu ke waktu. Permasalahannya bukan pada sedikitnya buku-buku bacaan dipasaran, melainkan bermasalahnya paradigma pembaca mengenai aktivitas membaca itu sendiri. Beberapa waktu belakangan ini, kebiasaan membaca buku tergantikan oleh kebiasaan membaca sms atau membaca status-status di facebook atau jejaring sosial lainnya.
Mengapa hal itu dapat terjadi? Dapat dipahami bahwa sesungguhnya manusia pada umumnya melakukan aktivitas yang memang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan. Sama halnya dengan aktivitas membaca buku terutama buku-buku sastra (puisi, prosa, dan drama). Masyarakat tak jarang membaca buku-buku “bagaimana untuk menjadi manusia sukses”, “bagaimana cepat menghasilkan uang banyak”, “bagaimana management jatuh cinta”, dan sebagainya karena memang merasa butuh dengan informasi yang disajikan di dalam buku-buku tersebut. Sementara buku-buku sastra, seolah kalah saing dan harus merasa cukup dengan sebatas menjadi buku bacaan dikala senggang semata.
Di Yogyakarta, pameran buku bukanlah hal yang asing lagi. Di berbagai tempat di Yogyakarta sering diadakan pameran-pameran buku yang lumayan meriah. Tetapi bisa dilihat pada saat pameran tersebut, bahwa buku-buku sastra kalah banyak dengan buku-buku nonsastra. Sastra dianggap sebagai buku yang sekali baca langsung disimpan atau bahkan dibuang, maka dari itu minat masyarakat untuk membeli buku-buku sastra tidaklah sebesar minat masyarakat membeli buku-buku nonsastra.
Pandangan tersebut yang melemahkan kekuatan dari sastra itu sendiri. Sesungguhnya sastra bukanlah hanya sebatas tulisan yang sekali baca langsung dibuang. Ada beberapa manfaat yang didapat dari sastra itu sendiri. Salah satunya yaitu dari sastra kita bisa mengetahui kenyatan-kenyataan yang mungkin tak bisa diungkapkan secara gamblang pada tulisan-tulisan nonsastra karena suatu alasan. Sastra merupakan miniatur kehidupan yang dihasilkan oleh subjek yang melaksanakan peran-peran di kehidupan nyata yakni manusia itu sendiri. Maka seharusnya dengan sastra kita dapat belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya.
Fiksi dan nonfiksi di dalam sastra perbedaannya sangatlah tipis. Hanya masalah kreativitas penulis. Kenyataan sebenarnya dapat “dikaburkan” oleh penulis berkat kreativitas untuk kemudian dituangkan ke dalam karya sastra. Tak ada yang dapat mengekang pergerakan sastra di kehidupan karena sastra sifatnya independen, sastra milik pengarang yang kemudian dapat dinikmati oleh pembaca.
Tak banyak yang menyadari bahwa kita patut bersyukur jika mencintai sastra. Dengan sastra kita dapat melatih kepekaan jiwa, misalnya saja dengan mengikuti jalan cerita di dalam sastra, kita sesungguhnya dibawa pengarang untuk berempati dengan nasib-nasib yang dialami tokoh. Banyak pengalaman buruk kehidupan yang dapat kita ketahui tanpa harus dialami secara langsung, caranya dengan membaca karya-karya sastra. Kejadian-kejadian buruk di dalam sastra menjadi bahan pembelajaran untuk kita.
Jangan menganggap bahwa fiksi di sastra benar-benar lahir dari “pemalsuan” yang dibuat oleh pengarang. Mungkin banyak yang menganggap bahwa cerita di dalam sastra tidaklah bermakna karena sastra merupakan karya fiksi, maka dari itu banyak masyarakat yang meremehkan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra. Padahal sesungguhnya, sastra adalah fiksi (cerita rekaan) yang hadir karena kejadian nyata. Karya fiksi tak akan mungkin benar-benar bebas dari kenyataan. Sastra hadir sebagai karya akibat kenyataan yang terjadi, kemudian dimasak dengan kreativitas pengarangnya, jadilah sebuah karya yang enak dibaca karena menghibur tetapi tetap tak meninggalkan nilai-nilai kehidupan.
Sayangnya, sastra bahkan menjadi sesuatu yang asing di dunianya sendiri. Di lingkungan akademik misalnya, guru-guru bahasa hanya mengajarkan anak-anak didiknya sebatas pada aspek teori, misalnya “apakah yang dimaksud dengan kata”, “apa itu kalimat”, dan sebagainya. Sementara pada aspek praktis, salah satunya membaca, menjadi sesuatu yang dinomorsekiankan. Jangankan peserta didik, guru saja banyak yang kurang mengenal karya-karya sastra yang lahir beberapa waktu silam. Terlebih lagi guru-guru di daerah terpencil, tentunya selain memang kendala distribusi buku-buku sastra yang menjadi permasalahan tambahan untuk sekolah-sekolah di daerah terpencil.
Mengajarkan anak untuk terbiasa menulis sastra, sesungguhnya melatih si anak belajar mengontrol emosi dan mendewasakan cara berpikirnya. Misalnya saja, ketika si anak marah, daripada anak membanting barang-barang di sekelilingnya, lebih baik arahkan anak untuk menuliskan apa yang dia rasakan. Biarkan anak menumpahkan emosinya di kertas. Kemudian setelah emosi si anak sudah kembali baik, maka minta anak untuk membaca tulisannya kembali, maka dengan begitu si anak akan belajar dari pengalaman dirinya sendiri. Apa yang menyebabkan dirinya marah, dan apakah pantas dia marah hanya karena hal tersebut misalnya.
Perlahan-lahan, anak akan terbiasa menuliskan perasaannya, apa pun yang dia alami di hidupnya setiap hari. Ketika menuliskan kisah hidupnya, anak tak akan lepas dari daya imajinasinya. Dengan kreativitas masing-masing anak, maka lahirlah karya kreatif yang dinamakan sastra (puisi, prosa, drama).


Diny Maulina Andriawan
Mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar