belajar dari yang terdahulu

Senin, 21 November 2011

Cerpen

RINTIHAN MANUSIA ANJING

            Burung-burung kecil saling bercericit dan sahut-sahutan. Angin lembut membelai halus di setiap sudut kulit. Rasa hati tetap gamang, sedih tak kenal kata akhir. Pintu neraka terbayang di depan mata menganga siap melahapnya. Sontak bulu roma bergidik. Aliran darah maksiat menyelusup dan mengalir di sekujur tubuhnya.
            Sampah masyarakat yang penuh dosa dan menjijikkan. Dia duduk menarik lutut hingga menempel serta menyentuh dadanya yang bidang. Cakrawala luas serasa menghimpit. Bibir hitamnya digigit seraya pikiran kembali membuka tabir kelam hidupnya.
            Rasa ingin diulang, penyesalan selalu datang saat semua terlanjur terjadi. Dengan kelainannya, dia hidup di tengah komunitas penyuka sesama jenis. Tubuh kekar bak ksatria disulap menjadi kemayu saat dirinya mulai menjalani profesi yang tidak dipungkiri memang sangat menjijikkan.
            Bola matanya yang bulat dan hitam pekat kini memandang seonggok bangkai anjing. Ternyata aroma busuk berasal dari bangkai itu. Tiba-tiba rasa malu sontak menyergap. Anjing itu jauh lebih baik, pikirnya. Paling tidak hewan itu terlahir sebagai anjing dan mati secara terhormat sebagai anjing pula. Sementara dirinya, terlahir sebagai makhluk yang paling sempurna dan terhormat-manusia-tetapi akan mati sebagai makhluk yang lebih hina daripada binatang.
            Andai tuhan berkenan mengizinkannya mencicipi nikmat madu pertobatan. Tapi tetap saja, pupus sudah harapan. Sang waktu tak akan rela membiarkannya menghirup udara bebas dan merasakan hangatnya mentari untuk waktu lama. Dokter telah menjatuhkan vonis. Vonis kematian yang sejujurnya sangat menakutkan. Dirinya tinggal menunggu detik-detik penghabisan usia. Menutup umurnya dengan lumpur dosa.
            Andai tuhan memberikan pilihan, tentu dia nggak akan menerima agar penyakit AIDS bersemayam di tubuhnya. Tapi semua terlanjur, penyakit ganas nan menyeramkan itu terlanjur bersemayam di jasadnya yang kini gemetaran membayangkan dibungkus kain putih panjang, kain kafan.
            Semua orang memang akan merasakan mati, tapi kenapa harus secepat ini. Dia terus meratap. Air mata sudah mengering. Hatinya mengiba, mengais pertolongan tuhan yang selama ini dibiarkannya tercecer di sana sini. Andai dia kuasa meminta kepada-Nya, hanya 1 hal yang ingin dia lontarkan dengan tangan terbuka menghadap langit.
            Dia inginkan mati tanpa mata. Kedua bola matanya ingin dia relakan untuk seseorang yang paling berarti dalam hidupnya. Seorang wanita yang dalam kebutaan tetap menyangka dirinya pria suci tanpa noda dosa. Seorang wanita yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Umi.

***

            Umi berdiri di depan pintu. Memandang jauh dalam luasnya gulita. Pandangannya kosong. Wanita setengah baya itu tampak sedih. Air mata menggantung di atas kantung matanya. Menahan agar butir-butir bening itu tidak jatuh.
            “Mi...” seorang pria muda menyentuh pundaknya. Wanita setengah baya yang tetap cantik dalam balutan busana muslimahnya itu tetap mematung. Dia masih melamun dan kembali ke alam sadarnya ketika sebuah ciuman hangat mendarat di pipi kanannya.
            Tangannya meraba wajah orang yang mendaratkan senyum hangat itu. Orang itu tak lain adalah anak semata wayang yang dihidupinya seorang diri dengan susah payah setelah suami tercinta meninggal dunia ketika si anak belum mengetahui makna ditinggal untuk selama-lamanya oleh orang terkasih.
            “Umi, Yuda sayang Umi.” Ucapan itu lirih tetapi terdengar keras di lubuk hati sang Umi. Umi mengangguk dan mencoba menghadapkan wajahnya tepat di hadapan sang anak.
            “Yud...” terdengar suara seorang wanita memanggil dari dapur. Wanita itu adalah Yuni. Kemenakan Umi yang sudah sejak lama ikut bersama Umi dan Abi. “Iya Mi.”
            “Sudah bilang Mang Tarno kalau kamu minta tolong diantar ke terminal?” Mbak Yuni mendekat ke Umi dan Yuda yang masih berdiri di pintu. “Sudah Mi, mungkin sebentar lagi Mang Tarno datang.”
            Mbak Yuni tersenyum. Dia kemudian mengajak Umi untuk duduk di sofa. “Mari Umi duduk dulu, Umi terlihat lelah sekali.”
            Umi menurut. Tangan tuanya yang mulai berkeriput dituntun oleh Yuni. Gurat kesedihan jelas terlihat dari wajahnya. Umi masih menangis. Perlahan menetes tetapi sungguh menyayat hati bagi yang memandangnya, terutama Yuda yang sebentar lagi akan meninggalkan Umi untuk melanjutkan kuliah di Jogja.
            Walaupun Bandung dan Jogja tidak begitu berjauhan, tetapi tetap saja Umi merasa berat melepaskan Yuda. Yuda memang seorang laki-laki dewasa, yang tentu dapat memilih mana yang baik untuknya, tetapi kekhawatiran seorang ibu yang tidak pernah ditinggal jauh oleh sang anak tetap tak bisa dihilangkan.
            Yuni mengetahui betapa sedihnya Umi, tetapi dia tak ingin membahasnya. Dia mencoba mengajak Umi membicarakan hal-hal yang mungkin dapat mengurangi kesedihannya, tetapi Umi tetap dalam kepiluan. Serasa seperti ada sesuatu yang sangat dikhawatirkan Umi.
            “Mi, sudahlah, Umi jangan menangis begitu. Yuda jadi ikut sedih melihat Umi tidak berhenti menangis.” Rengek Yuda bagai seorang anak kecil.
            “Yuda benar Mi. Yuda kan pergi karena ingin sekolah, berusaha menuntut ilmu. Umi jangan menangisi kepergiannya.” Yuni menambahkan. Umi diam tetapi kemudian berucap lirih.
            “Yuda...Yuda, anakku. Umi berpesan kepadamu, jagalah dirimu baik-baik di sana. Jagalah baik-baik, jangan sampai kamu melakukan sesuatu dengan tanganmu apa yang tidak Umi ajarkan, jangan sampai kamu gunakan kakimu untuk melangkah ke tempat-tempat yang tidak Umi contohkan, jangan sampai kamu gunakan mulutmu untuk mengatakan hal-hal yang tidak Umi inginkan, dan terutama sekali, jangan sampai kamu gunakan matamu untuk memandang apapun yang tidak Allah senangi. Karena kamu harus ingat baik-baik Yuda anakku, bahwa mata Umi ada padamu, Umi dapat memandang indahnya dunia melalui matamu, dan Umi berharap, Umi juga akan memandang indahnya surga dengan matamu.”
            Semua terdiam. Yuda dan Yuni membiarkan air mata mereka jatuh membasahi pipi tetapi mereka menahan agar isak tangis tidak terdengar Umi.
            “Dan satu lagi harapan Umi.”
            “Apa itu Mi? Yuda akan berusaha mengabulkan harapan Umi. Demi Umi.” Yuda menggenggam tangan Umi erat dan hangat.
            “Andaikan...” Umi terdiam. Tapi kemudian melanjutkan ucapannya. “Ah..Umi tak ingin berandai-andai, bukankah berandai-andai akan membuka pintu setan. Umi berharap pada Allah, agar Dia bermurah hati untuk memberikan Umi kesempatan sekali saja dapat memandang wajah anak Umi yang sangat Umi banggakan ini dengan mata Umi sendiri. Karena selama ini, hingga kamu sebesar ini, Umi hanya mampu memandangmu dengan bantuan mata Mbakmu, Yuni.”

***

            Sudah beberapa hari kepergian Yuda, Umi tetap dalam kesedihan. Belakangan, Yuni mendapati Umi selalu melamun. “Ada apa Mi?” Umi diam. “Mi, Umi.” Yuni mengelus lengan Umi.
            “Iya Yun.” Ucap Umi lirih. “Umi kenapa? Belakangan ini Yuni perhatikan Umi sering melamun, Umi ada masalah?”
            “Umi memikirkan Yuda Yun.”
            “Jangan begitu Mi, Yuda ke Jogja kan untuk kuliah, doakan Yuda semoga menjadi orang sukses dunia akhirat.” Tutur Yuni lembut. “Insya allah Umi selalu mendoakan anak-anak Umi, tetapi entah kenapa perasaan Umi selalu saja khawatir.”
            “Mungkin karena Yuda tidak pernah tinggal berjauhan dengan Umi, jadi Umi kangen dengan dia.”
            “Iya, mungkin karena itu, tetapi ada perasaan yang mengganjal di hati Umi.”
            Yuni diam.
            “Yun.” Umi meraba-raba mencari tangan Yuni. “Iya Mi, Yuni di sini, ada apa?”
            “Firasat seorang ibu kepada anaknya itu sangat kuat, sejak kepergian Yuda, Umi selalu dibayang-bayangi firasat yang tidak mengenakkan. Umi tak tau apa yang terjadi pada Yuda di Jogja. Kalau kamu ada waktu, jenguklah dia di sana. Hanya untuk sekedar silahturahmi.”
            Umi begitu khawatir. Yuni berusaha menenangkan hati Umi, meyakinkan Umi kalau Yuda sudah dewasa dan dapat menjaga dirinya sendiri.
            “Mi, percayalah dengan Yuda. Insya allah dengan doa dari Umi, Yuda akan baik-baik saja. Toh, setiap dia libur kuliah, Yuda pasti pulang.”

***

            Yuni tiba di stasiun tugu. Dengan bermodalkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat, Yuni mencari kost Yuda yang ada di sekitar Samirono. Yuni sengaja datang ke Jogja tanpa memberitahukan Yuda sebelumnya. Begitulah pesan Umi. Yuni menuju kost Yuda dengan menaiki bis. Yuni turun di depan salah satu kampus Negeri yang ada di Jogja. Perlahan-lahan Yuni mencari alamat kost Yuda. Bertanya-tanya dengan warga sekitar. Akhirnya sampailah Yuni di sebuah rumah besar tingkat tiga.
            “Assalamu’alaikum.” Ucap Yuni sembari mengetuk pintu. “Walaikum salam” pintu terbuka dan tampak menyambutnya seorang wanita setengah baya berpakaian daster.
            “Permisi Bu, benar ini rumah kost?” tanya Yuni mengawali. “Iya benar, Mbaknya mau cari kost ya? maaf ini kost khusus cowok.” Ucap si ibu menjelaskan. “Oh bukan Bu, saya bukan mencari kost, saya mencari adik saya. Ini alamat kostnya.” Yuni menunjukkan secarik kertas yang digenggamnya.
            “Oh iya benar, ini alamatnya, nama adik Mbak siapa?’
            “Yuda Bu.”
            “Oh Yuda. Iya benar, dia memang kost di sini. Ayo mari masuk.”
            Yuni pun masuk.
            “Saya Ibu kost. Nama saya Yumar.” Si Ibu memperkenalkan diri. “Oh iya, nama saya Yuni.”
            Yuni melempar senyum ramah.
            “Kalau jam segini, Yuda masih kuliah atau sudah pulang ya Bu?” Yuni melirik ke jam tangannya. Jarum menunjuk ke angka tiga.
            “Hheeem...Mbak ini benar Mbaknya Yuda?” tanya si Ibu kemudian. “Iya Bu, saya Mbaknya Yuda, datang dari Bandung.”
            “Oh, asli Bandung?”
            “Sebenarnya tidak, orangtua pindah ke Bandung, tapi sebenarnya asli Semarang.”
            “Begini Mbak, sebenarnya saya sudah lama ingin menyampaikan hal ini kepihak keluarga Yuda. Sebagai ibu kost, saya merasa memiliki kewajiban untuk memperhatikan anak-anak kost, saya sudah menganggap mereka semua sebagai anak saya sendiri, karena kebetulan anak-anak saya sudah berkeluarga dan tinggal di luar pulau Jawa.” Si Ibu menjelaskan.
            “Sebenarnya ada apa dengan Yuda ya Bu? Apakah dia terlambat membayar uang kost?”
            “Oh tidak Mbak. Alhamdulillah Yuda selalu tepat waktu.”
            Sesaat si ibu terdiam.
            “Mungkin saya salah, tetapi saya sudah mencaritahu kebenaran dugaan saya ini dengan beberapa teman Yuda. Awalnya saya mendapat laporan dari salah seorang teman sekamar Yuda. Dia mengatakan bahwa Yuda homo, saya sempat tidak percaya, saya berpikir mungkin dia mengatakan demikian karena ada maksud yang kurang baik dengan Yuda. Tetapi dia menantang saya, dia membuktikan kalau ucapannya benar. Suatu hari, saya dibawa untuk mengamati gerak-gerik Yuda selama di kamar, terlebih ketika dia membawa teman laki-laki masuk. Dan saya sangat tidak percaya ketika saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Yuda dan teman cowoknya sedang melakukan hal yang di luar batas manusia normal Mbak.”
            “Astagfirullah….” Ucap Yuni dengan meneteskan air mata, terbayang di benaknya jerih payah Umi mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk membiayai pendidikan Yuda.

***

            Ternyata firasat Umi benar. Kehidupan Yuda di Jogja tidaklah baik-baik saja. Apa yang dilakukan Yuda selama di Jogja, sangat-sangat tidak terbayangkan oleh Yuni, bahkan oleh Umi sebelumnya. Setelah mendapatkan berita buruk dari ibu kost Yuda, Yuni langsung pulang ke Bandung dengan naik kereta. Sepanjang perjalanan, Yuni menangis. “Ya Allah Yuda, andaikan kamu tahu betapa besarnya sayang Umi ke kamu, tidak mungkin kamu akan berlaku tidak baik dan tidak memenuhi amanat Umi.”
            Yuni kemudian ingat cerita Umi. Beberapa hari lalu Umi menceritakan semuanya ke Yuni mengenai kebutaan yang di alami Umi.
            “Umi dulu sebenarnya tidak buta Yun, Umi buta setelah Yuda ada di dunia ini.”
            “Maksud Umi?”
            “Dulu, ketika bayi, Yuda dilahirkan dengan mata yang cacat. Dia tidak bisa melihat. Kemudian Umi memutuskan untuk mendonorkan mata Umi ke Yuda kecil.”
            “Ya Allah Yuda…setan apa yang merasuk ke hatimu hingga kamu tega membiarkan Umi menghadapi kenyataan seperti ini.”
            Yuni terus membatin dan menangis. Tak tega rasanya, dia untuk menceritakan semuanya apa adanya kepada Umi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar