belajar dari yang terdahulu

Rabu, 30 November 2011

Psikologi Sastra

NALURI KEMATIAN “ANGGI PRISCILIA DEWANTO”
DALAM  CERPEN “PERPISAHAN NARCISSUS”  KARYA MUKHAMMAD NF
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

  1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Cerpen “Perpisahan Narcissus” merupakan salah satu cerpen karya Mukhammad NF di dalam buku kumpulan cerpen “Senyum Bidadari Milik Padma”. Cerpen tersebut ditulis oleh pengarang pada Mei 2006 dan berkisah tentang seorang wanita bernama Anggi Priscilia Dewanto yang merupakan istri dari seorang lelaki kaya bernama Dewanto. Anggi diduga memiliki kelainan mental. Menurut psikiaternya, Rastri, Anggi mengidap manic-depressive.
Di dalam cerpen “Perpisahan Narcissus” dipaparkan sikap Anggi yang cenderung kasar terhadap lingkungan, diikuti dengan keinginan Anggi untuk cerai dari suami, dan pada akhirnya Rastri mampu menyambuhkan jiwa Anggi.
Cerpen “Perpisahan Narcissus” akan dianalisis dengan pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra merupakan pendekatan yang menganggap bahwa karya sastra mengandung aspek-aspek kejiwaan manusia. Manusia yang dimaksud yaitu pengarang, tokoh-tokoh di dalam karya sastra, dan pembaca karya sastra tersebut.
Di dalam makalah ini akan dianalisis bentuk-bentuk naluri kematian yang ada pada diri tokoh, faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya naluri kematian tersebut, serta cara mengatasi naluri kematian, baik oleh tokoh maupun orang-orang yang ada di sekitar tokoh.

Rumusan Masalah
1.      Bagimanakah bentuk naluri kematian pada tokoh?
2.      Apakah faktor yang menyebabkan munculnya naluri kematian pada tokoh?
3.      Bagaimanakah cara mengatasi naluri kematian pada tokoh?


Tujuan
1.      Menjelaskan bentuk naluri kematian pada tokoh
2.      Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya naluri kematian pada tokoh
3.      Menjelaskan cara mengatasi naluri kematian pada tokoh


  1. KAJIAN TEORI
Psikologi Sastra
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh pemahaman bahwa: pertama, karya sastra merupakan produk kejiwaan. Imajinasi pengarang muncul akibat interpretasi pemikiran pengarang pada situasi setengah sadar kemudian dituangkan ke dalam bentuk sadar. Kedua, psikologi sastra menganalisis perwatakan tokoh. Seberapa jauh pengarang menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakin hidup. Penggambaran tersebut dapat terlihat melalui dialog atau diksi tokoh di dalam karya sastra.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011:96). Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan dalam Endraswara, 2011:97-98).
Dalam pandangan Wellek dan Warren dan Hardjana (Endraswara, 2011:98-99), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologi ketika mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra. asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatic psikologis teks sastra terhadap pembacanya.
Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya tersebut (Endraswara, 2011:103). Selanjutnya Endraswara menjelaskan bahwa penelitian psikologi terbagi menjadi dua sasaran, penelitian psikologi tokoh dan proses kreativitas pengarang. Bila meneliti psikologi tokoh, langkah-langkahnya yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra terletak pada aspek intrinsik dan ekstrinsik, tetapi yang ditekankan adalah unsur intrinsik. Kedua, selain tokoh dan watak, juga diperlukan analisis tema karya. Analisis tokoh difokuskan pada nalar perilaku tokoh. Yang diteliti tidak harus tokoh utama, dapat pula tokoh pendamping, selama peneliti bisa menjelaskan mengapa tokoh tersebut yang dianalisis. Ketiga, konflik perwatakan tokoh yang dikaitkan dengan alur cerita. Misalnya saja ada tokoh yang phobi, halusinasi, gila, dan sebagainya harus dihubungkan dengan jalan cerita secara struktural. Hal tersebut menghindari para peneliti terjenak hanya pada penggunaan teori psikologi. Jika penelitian hanya pada aspek teori-teori psikologi, berarti masuk ke ranah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra.
Jika  sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan langkah-langkah: pertama, aspek ekstrinsik, meliputi cita-cita, keinginan, obsesi, harapan, dan tuntutan personal. Perlu adanya riwayat hidup pengarang untuk mengetahui pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, latar belakang penciptaan karya sastra perlu digali, dengan begitu, peneliti dapat mengetahui alasan seorang pengarang menuliskan karyanya tersebut. Apakah pengarang hanya sekedar menumpahkan perasaannya, atau kah ada tujuan lain. Ketiga, peneliti perlu mengaitkan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak.
Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitannya dengan struktus alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika masih hidup) (Endraswara, 2011:105).
Dalam kajian psikologi sastra tak terlepas dari wilayah psikoanalisa. Awalnya psikoanalisa diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Tiga unsur kejiwaan yang dianalisis di dalam psikoanalisa yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga unsur itu layaknya rantai yang saling terhubung dan saling memerlukan satu sama lainnya. Id (das es) merupakan kepribadian dasar manusia, kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai. Ego merupakan kepribadian yang mengarahkan setiap individu pada dunia luar, dunia kenyataan. Super ego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai dan bersifat evaluatif (berkaitan dengan baik-buruk).
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolute, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak (Freud dalam Minderop, 2010:21).

Naluri dan Macam-Macam Naluri
Naluri menurut Freud adalah kekuatan id mengungkapkan tujuan hakiki kehidupan organisme individu. Hal ini tercakup dalam pemenuhan kepuasan. Id tidak mampu mewujudnyatakan tujuan mempertahankan kehidupan atau melindungi kondisi dari bahaya. Ini menjadi tugas ego, termasuk mencari cara memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Superego mengendalikan keinginan-keinginan tersebut (Clark dalam Minderop, 2010:104).
Menurut konsep Freud, naluri atau instink merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan (tension reduction), cirinya regresif dan bersifat konservatif (berupaya memelihara keseimbangan) dengan memperbaiki keadaan kekurangan. Proses naluri berulang-ulang (tenang, tegang dan tenang) – repetition compulsion (Clark dalam Minderop, 2010:104).
Contoh mekanisme di atas yaitu tubuh membutuhkan minuman. Maka energi psikis akan terhimpun dalam naluri haus dan mendorong individu memuaskan kebutuhannya untuk minum. Stimulus dari dalam, berupa naluri-naluri, sementara stimulus dari luar, berupa perlakuan dari individu lain. Menurut Minderop, stimulus dari luar tidak terlalu kuat karena individu yang dipengaruhi akan menghindar, namun stimulus dari luar dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.
Freud membagi naluri menjadi beberapa macam, yaitu eros atau naluri kehidupan dan destructive instinct atau naluri kematian. Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (Clark dalam Minderop, 2010:104). Naluri kehidupan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seksual, menunjang kehidupan dan pertumbuhan. Naluri kematian adalah naluri yang mendasari tindakan agresif dan destruktif. Naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri atau bersifat agresif (menyerang) terhadap orang lain. Agresi dibedakan menjadi dua, yaitu agresi langsung dan agresi yang dialihkan. Agresi langsung dapat berupa pengungkapan rasa marah yang disampaikan langsung kepada lawan bicara, sedangkan agresi yang dialihkan dapat terjadi bila seseorang mengalami rasa tidak puas kepada sumber frustasi yang tidak jelas atau tidak tersentuh.
Kata instinct (naluri) bagi Freud, pengertiannya bukan semata gambaran yang dirujuk oleh kata itu. Instinct bagi orang Perancis memunculkan pengertian kemahiran atau semacam penyesuaian biologis bawaan. Misalnya, pada hewan yang memiliki naluri tertentu. Berhubung kata ini tidak mampu mencakup dunia manusia, maka Freud menggunakan istilah lain yang disebut pulsi. Pulsi seksual disebutnya libido, sedangkan pulsi non-seksual disebut alimentasi yang berhubungan dengan hasrat makan dan minum misalnya (dalam Minderop, 2010:105).



Gangguan Bipolar atau Manik Depresif (dirangkum dari www.sehatnews.com)
a.       Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar atau Manic-Depressive Illness (MDI) merupakan salah satu gangguan jiwa tersering yang menyerang manusia. MDI menyebabkan penderitanya merasakan sangat antusias dan bersemangat, seakan memiliki energi yang tidak ada habisnya. Namun, ketika suasana hatinya berubah buruk, si penderita bisa mengalami depresi hingga putus asa.
Gangguan bipolar baru muncul ketika seseorang sudah menginjak usia remaja. Keadaan ini akan terus berulang jika tidak dilakukan penanganan. Menurut beberapa kajian ilmiah yang dimuat dalam Ikatan Dokter Amerika, seseorang memiliki risiko 8 hingga 18 kali lebih besar terkena gangguan bipolar jika memiliki anggota keluarga yang mengidap gangguan bipolar.

b.      Gejala Gangguan Bipolar
Gejala manusia mengalammi gangguan bipolar yaitu, (1) Penderita tidak mampu mengendalikan mood yang dirasakannya; (2) Penderita terlalu larut dengan suasana emosinya dalam jangka waktu yang cukup lama, berminggu-minggu bahkan hinga berbulan-bulan; (3) Penderita tampak terlalu bersemangat atau terlalu depresi dalam waktu yang tidak lumrah; (4) Penderita berperilaku dengan sangat impulsif dan tidak memikirkan risiko.

1.      Fase Manik merupakan fase dimana si penderita mengalami semangat dan energi berlebih. jika seseorang mengalami fase manik, maka ia akan merasa penuh energi, siap melakukan apapun, tidak terkalahkan, dan siap menghadapi apapun yang menghalangi niatnya.
      Fase ini berlangsung bisa beberapa hari hingga beberapa bulan sebelum akhirnya digantikan oleh fase selanjutnya, yaitu fase depresi. Untuk fase depresi, gejala penderita gangguan bipolar ini akan lebih sulit dikenali. Karena, jika belum mengalami fase manik, orang awam lebih banyak menganggapnya sebagai depresi saja. Padahal, gangguan manik depresif lebih berbahaya dibandingkan depresi saja.

Gejalanya:
1.      Penderita seringkali mempunyai rencana yang tidak masuk akal dan tidak logis,
2.      Berkurangnya nafsu makan dan jam tidur secara drastis,
3.      Penderita bisa begadang semalaman tapi tidak terlihat tanda kelelahan,
4.      Bicara yang sangat cepat dan sering berubah topik pembicaraan,
5.      Kepercayaan diri yang sangat tinggi,
6.      Sering mengambil keputusan tanpa berpikir risikonya. Akibatnya, seringkali keputusan yang diambil merugikan,
7.      Cara berpakaian berubah-ubah

2.      Fase Depresi merupakan kebalikan dari fase manik. Meski demikian, banyak orang yang mengalami fase ini lebih banyak dibandingkan fase manik.

Gejalanya:
1.      Sedih dan sering menangis,
2.      Tidak peduli dengan keadaan diri sendiri. Tidak ingin mandi, ganti baju, atau bahkan inginnya hanya mengurung diri saja,
3.      Penderita bisa mengalami susah tidur (insomnia) atau bahkan terlalu banyak tidur (hipersomnolens),
4.      Banyak dari penderita tidak berselera pada makanan dan kehilangan berat badannya,
5.      Penderita sering mengalami kesulitan berpikir dan masalah pada ingatannya karena merasa depresi,
6.      Penderita mengucilkan diri dari lingkungan sosialnya,
7.      Hobi yang biasa dilakukan untuk menghilangkan stres sudah tidak lagi menarik bagi si penderita,
8.      Selalu merasa pesimis, tidak berguna, dan hilang harapan,
9.      Penderita bisa terkena penyakit kronis dan keluhan fisik lainnya tanpa sebab yang jelas,
10.  Yang paling parah, penderita bisa merencanakan untuk bunuh diri karena merasa sudah tidak memiliki tujuan untuk hidup.

  1. ANALISIS PEMBAHASAN
1.      Bentuk Naluri Kematian
a.       Manic-depressive
Menurut pengakuan Rastri, Anggi mengidap manik depresif, terlihat dari kutipan

“Mendadak wajah perempuan itu menjadi berubah. Yang tadinya cerah kemerahan, tiba-tiba saja gelap berwarna buram.” (hlm 132)

“Rastri terperangah. Perempuan di depannya mengidap manic-depressive, tiba-tiba saja dengan drastis berubah perilaku. Waktu baru datang sepertinya dia sayang sekali dengan pasangannya. Tapi setelah diingatkan masalahnya, perempuan itu beralih wajah, seakan-akan ingin menelan bulat-bulat suaminya.” (hlm 132)

“Rastri terperangah. Ya Allah, benar-benar manic depressive, psikopat. Rastri tidak tau apa yang harus dilakukan.” (hlm 138)

b.      Agresi Langsung
a.       Anggi marah kepada suaminya dan meminta cerai

“Pokoknya gwe minta cerai. C E R A I . . .!” (hlm 135)

“…Ah, pura-pura, kamu aja yang mau kawin lagi nyari istri baru.” (hlm 135)

“…Gwe ngga mau tau! Mau ada perempuan kek, monyet kek, gajah, belatung, jin… pokoknya cerai! Cerrr-raiiiii…! Gwe dah ngga tahan Pa. Ngga tahan!” (hlm 135-136)

“Hei, jangan lari kamu ya. Ke sini, gwe hajar dulu biar tahu rasa! Gwe minta cerai. Pokoknya CERAI. CERAI…!” (hlm 139)


b.      Anggi melempar suaminya dengan barang-barang yang ada di dekatnya

“…tiba-tiba Bu Anggi sudah melempar tas kulitnya ke wajah Pak Dewanto. Lalu Bu Anggi berdiri, seperti kesetanan mendorong Pak Dewanto hingga terjengkang jatuh terjerembab. Bu Anggi segera berlari ke arah meja. Matanya menatap vas bunga yang ada di atas meja. Ia mengambilnya, lalu… melemparnya ke arah Pak Dewanto…” (hlm 138)

“…Bu Anggi mengayunkan gagang sapu ijuk untuk meraih Pak Dewanto…” (hlm 139)

“…Bu Anggi tidak menyerah, ia nekat naik dan melompati meja kerja Rastri mencari celah untuk menusuk-nusuk suaminya itu.” (hlm 139)

2.      Faktor Penyebab Munculnya Naluri Kematian
1.      Anggi merasa tertekan karena dilarang bekerja oleh Dewanto,

“…Udah di rumah sepi kayak kuburan, eh dia malah ngelarang gwe berkarir…” (hlm 133)

“…Dia ngga mau gwe berkarir di luar rumah…” (hlm 133)

“…Gwe butuh udara luar, biar tahu, ngga cuma dikurung dalam rumah kayak piaraan…” (hlm 136)

“…Gwe tuh ya Pa, penginnya jadi perempuan karier kayak wanita yang lain. Papa ngga kasi ijin, gwe kan males jadinya…” (hlm 136)

2.      Anggi merasa tertekan karena belum memiliki anak

“…Kami nikah delapan tahun yang lalu. Sampe sekarang belum punya anak.” (hlm 132)

“…dia belum bisa kasi anak ke gwe…” (hlm 133)

“…Lagian Papa belum bisa ngasi anak…” (hlm 136)

3.      Cara Mengatasi Naluri Kematian

1.      Anggi konsultasi ke Rastri (psikiater)

“Ah, dia, bener Dok! Pacar gwe, yang gwe certain tuh yaa… yang sekarang jadi suami gwe. Ngga tau! Dulu dia baik, menyenangkan. Tapi sekarang, gwe benci dia Dok. Pokoknya benci! Benci! Benciii…!!!” (hlm 132)

“Begini Dok!...” (hlm 132)

2.      Dewanto konsultasi ke Rastri

“Maaf Bu Rastri, rasanya sakit sekali ketika saya mendengar istri saya minta cerai. Saya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba seperti itu. Padahal sebagai laki-laki saya sudah berusaha memberikan yang terbaik. Saya tidak tahu, Bu. Saya ngga habis pikir.” (hlm 141)

“Bu, jujur saja. Ibu boleh percaya boleh ngga. Walaupun istri saya seperti itu, tapi saya justru makin sayang sama dia Bu. Saya ingin sampai meninggal ada dia di samping saya. Saya ngga mau menceraikan dia. Demi Allah…” (hlm 142)

3.      Rastri menyarankan Dewanto untuk mengirim surat cinta kepada istrinya

“Saya ingin Pak Dewanto menuliskan kembali surat cinta yang pernah Bapak kirimkan ke Bu Anggi. Lalu Bapak kirimkan, seperti dulu. Ya persis seperti dulu ketika belum menikah dengan Bu Anggi. Oh ya, saya juga ingin Pak Dewanto menuliskan kembali alasan-alasan kenapa memilih menikah dengan Bu Anggi. Bisa kan? Dua minggu ini saja. Saya minta tiap hari selama dua minggu Bapak mengirimkan surat-surat itu ke Bu Anggi…” (hlm 143)

“Pak Dewanto menyetujui usulan Rastri. Ia seperti mengingat kembali kenangan-kenangan tentang masa lalu.” (hlm 143)

     
Pada akhir cerita, digambarkan bahwa hubungan Anggi dan Dewanto kembali akur berkat pertolongan psikiater. Hal tersebut terlihat dari kutipan,

“…Bu Dok Rastri, gwe tuh makasih banget ya sama Bu Dok udah nyatuin rumah tangga kita. Rasanya seperti baru kemaren gwe nikah. Ih great. Tahu, ngga Dok, hampir tiap hari kita gituan. Kayak pengantin baru aja. Tiap hari honeymoon. Tahu kan? Itu tuuh…” (hlm 144)

“Ih, Bu Dok Rastri, bener ya…gwe ngg bisa ngebayangin kalo ngga ada Bu Dok gimana jadinya. Mungkin gwe jadi gelandangan lagi kali…” (hlm 144)


  1. KESIMPULAN
1.      Bentuk Naluri Kematian pada Tokoh
a.       Manik Depresif, terdiri dari 3 kutipan
b.      Agresi Langsung, diantaranya yaitu:
a.       Anggi marah kepada suaminya dan meminta cerai, terdiri dari 4 kutipan
b.      Anggi melempar suaminya dengan barang-barang yang ada di dekatnya, terdiri dari 3 kutipan

2.      Faktor Penyebab Munculnya Naluri Kematian
a.       Anggi merasa tertekan karena dilarang bekerja oleh Dewanto, terdiri dari 4 kutipan
b.      Anggi merasa tertekan karena belum memiliki anak, terdiri dari 3 kutipan

3.      Cara Mengatasi Naluri Kematian
a.       Anggi konsultasi ke Rastri (Psikiater), terdiri dari 2 kutipan
b.      Dewanto konsultasi ke Rastri, terdiri dari 2 kutipan
c.       Rastri menyarankan Dewanto untuk mengirim surat cinta kepada istrinya, terdiri dari 2 kutipan
Pada akhir cerita, digambarkan bahwa hubungan Anggi dan Dewanto sudah kembali akur berkat pertolongan psikiater, terdiri dari dua kutipan


DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Buku Obor
NF, Mukhammad. 2007. Senyum Bidadari Milik Padma. Surakarta: Smart Media
www.sehatnews.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar